12/03/2012

Semesra Senja

 
Ranti masih termenung di pinggir danau. Keramaian lalu lalang mahasiswa dan kumpulan-kumpul an mereka yang berdiskusi di taman perpustakaan tak sekalipun mengusiknya. Bahkan hingga hari beranjak senja, dan kerumunan telah tergantikan oleh sepi……Ranti masih disana.

Alunan adzan maghrib Masjid Ukhuwah Islamiah menyadarkannya. Ranti harus pulang. Siang tadi ia hanya pamit pada m
ama untuk pergi sebentar ke kampus. Mama, ibu mertuanya mafhum bahwa Ranti masih butuh waktu. Entah sampai kapan tak ada yang mengerti. Toh ini masalah hati. Mama tak ingin mengusiknya sama sekali dan hanya mengingatkan bahwa ia harus pulang sebelum petang menjelang.

Ranti berdiri dengan enggan. Ditatapnya sekali lagi danau yang kehijauan itu. Sejak 2 jam yang lalu ia disana. Seperti setahun yang lalu, dua tahun yang lalu juga, namun sepertinya yang ia tunggu tak akan datang hari ini.
Agak terhuyung langkah Ranti berjalan menuju tempat parkir. Masih ada perih yang bergelayut di hatinya. Perih dan campuran rasa lain hingga air mata Ranti tumpah tanpa ia sadari. Setelah menutup pintu mobil ia pun membelokkan innova-nya ke halaman masjid. Banyak yang ingin ia sampaikan padaNya dan pastinya akan sampai juga pesannya pada Bang Noe.
“Ah, seakan baru kemarin Bang Noe datang dengan wajah berbinar untuk meminangku…” Pikirnya.

****
“Hei, pinjem bukunya ya?” Suara itu tiba-tiba mengagetkan Ranti yang terkantuk-kantu k sambil megang buku yang sebenarnya niat dibacanya tadi.
“Eh, o iya dok silakan” Ternyata dr. Nurrahman, dokter yang bertugas menjadi CI-nya 1minggu ini di UGD.
“Haduuuh, kalau ditanya macem-macem gimana nih? Belum selesai lagi belajarnya” Ranti mulai nggak nyaman, rasanya pengen kabur dan ijin ke toilet.
“Hmm … cedera kepala … manifestasi klinis?” Tiba-tiba si dokter bertanya sambil melihat ke arahnya. Kontan saja Ranti gugup. Meskipun killer tapi kan dia senior paling cakep disini hehehe.
“Eh…anu ….”
“Oooo…gak tahu? Tandanya bla…bla…bla….” Dengan runut dokter itu menjelaskan panjang lebar. Ranti hanya mengangguk-angg uk dan menuliskan rangkumannya di notes kecilnya. Begitu terjadi beberapa kali sampai-sampai Ranti bingung.
Ini dokter mau nanya atau hanya ngetes? Lha wong nanya tapi kok dijawab-jawab sendiri? Ranti bertanya dalam hati. Tapi memang Ranti juga salah karena saat ditanya malah bengong.
Setelah hampir lima pertanyaan dilontarkan dan dijawab sendiri, dokter itu mengembalikan bukunya.
“Ini saya kembalikan. Dibaca ya? Masak punya buku nggak tahu isinya? Hyaaaa…parah ni dokter. Ranti meledek dalam hati.
“Iya dok , makasih.“ Justru jadi Ranti yang berterimakasih.
Tapi dalam sepuluh menit tadi Ranti baru sadar kalau dokter itu memang cakep dan pintar. Dalam hati Ranti mentertawakan dirinya sendiri yang berpikir demikian.

“Oooiii Ran, waktunya bed side teaching, siapin kasusnya gih …………” Kata Yani teman satu kelompoknya.
“Oke…siapa nih nanti dokternya? Jam berapa jadinya janjian?“
“Katanya sih dr. Nurrahman… tapi maunya jam 01.00 pagi nanti. Mampus deh kita! Mana masuk tuh materi?” Kata Yanti sewot.
“Loh…kan ada dr. Sony?”
“dr. Sony gak mau kalau seniornya ada. Kan malam ini seniornya dr. Nurahman? Ayo ah siapin kasus dan materinya!”
“Oke. Hmm… gawat nih! Tapi… adepin nyante aja kali ya? hehehe”
“Nyante dari Hongkong? Dokter galak gitu …”
“Masak sih? Emang pernah marah-marah ? Seminggu ini kan dia adem-ayem ngajarin kita di kelas?”
“Kata kakak tingkat sih galaknya bukan marah-marah. Dia kan pinter? Jadi nggak seneng tuh kalau mahasiswanya juga gak pinter. Hehehe. Lagian jarang senyum. Cakep kalau nggak senyum kan ngurangin nilai ”
“Kan jadinya cool?”
“Cool ??? Nggak ah! Mengarah somse “
“Somse gitu banyak yg naksir ya?”
“Iya paling. Tapi belum nikah tuh? Siapa tahu bisa nyantol ma kamu.“
“Ih…emang jemuran pake nyantol? Hahaha.” Ranti hanya bercanda waktu itu. Tak disangka malaikat mencatat hal itu di buku agendanya dengan tulisan yang besar-besar buat Ranti.
****
Ting…tong…ting… tong…
“Aduuuh…siapa sih siang-siang begini datang? Mana mbok Sri belum pulang ngawal si mbah ke pasar.”
Dengan ogah Ranti membukakan pintu depan untuk tamu yang ia anggap mengganggu agenda tidur siangnya.
“Assalamualaiku m, benar ini rumah Pak Rahmat?” Sesosok tubuh jangkung berdiri di depan pintu. Ranti harus agak mendongak untuk melihat wajahnya.
“Wass… eh wa’alaikumusala m…” Ranti kaget melihat siapa orang itu. Ada apa dr. Nurrahman nyasar ke rumahnya siang-siang begini? Ranti jadi salah tingkah karena penampilannya masih a la mbok-mbok rumahan: celana kulot, kaos lengan panjang dan jilbab rumah. Benar-benar memalukan .
“Maaf, apa benar ini rumah Pak Rahmat?” Si tamu yang merasa dicuekin kembali bertanya.
“Eh….iya benar.” Gagap Ranti menjawab.
“Lalu apakah saya boleh masuk?” Tanya si tamu lagi.
“Oh…iya boleh….” Ranti langsung membukakan pintu dan menyilakan duduk. Setelah tugas basa basi selesai dengan sigap Ranti langsung ngacir atau lebih tepatnya kabur ke belakang.
“Terus ini gimana ….buatin teh atau kopi? Jus? Kalau dia gak suka teh gimana? Atau malah lebih suka jus? Atau ditawarin ya idelanya tadi? Halah…susah bener sih?” Ranti menimbang-nimba ng segala kemungkinan sambil merazia dapur mencari gelas dan semua peralatan yang penting untuk menyuguhi tamu.
Baru saja Ranti mengupas jeruk untuk membuat jus, tiba-tiba muncul keramaian dari ruangan depan.
“Loh…ini nak Nur anak Pak Tarjo to? Oalah Le ternyata sudah besar ?” Samar-samar suara mbah memecah keheningan.
“Ranti? Mana ini ya si Ranti? Masih kenal sama Ranti kaN? Dulu waktu masih sering kesini kan si Ranti masih SD? O ya! Dia sekolahnya sama kayak Nak Nur lho sekarang. Tinggal 2 tahun lagi lulus.”
“Eh… aduh maaf ya nak? Masak dibiarkan sendirian di sini dan gak dibuatin minum tho sama Ranti? Ayo cepet Sri buatin minum buat si Nur!” Mbah yang heboh sejak datang dan melihat dokter itu tambah heboh melihat kenyataan bahwa cucunya tega mentelantarkan dokter itu di ruang tamu sekian lama.
“Aduuuh…mbah kok lebay gitu sih…memangnya siapa dia?” Ranti mengeluh dalam hati.

Entah mengapa sejak saat itu si dokter kece tapi somse sering main ke rumah. Gaulnya? Sama siapa lagi kalau bukan sama Mbah. Ranti jarang menemani tapi meskipun begitu ternyata Ranti mulai menyadari kalau si dokter kece itu tidak somse tapi pinter dan keren sekali. “Bang Noe”, nama panggilan yang membuat Ranti jadi pengen tertawa ketika mengingatnya kembali sekarang. Dokter itu ternyata tak hanya ahli di bidang ilmu kedokteran tapi juga keren ketika menjelaskan hal-hal mengenai ilmu tanaman. Sangat nyambung dengan si mbah menggemari segala jenis tanaman hias. Kesan somse-nya juga hilang. Malah ternyata Bang Noe itu orangnya ramah dan lucu juga. Ranti bisa dapat tentor gratis jadinya jka demikian.

Sampai suatu hari tiba-tiba sms masuk dari Bang Noe.
“Abang bisa nanya sesuatu dek?”
Reply
“Oke, nanya apaan bang? Kardio, gastro atau uro? Ranti nyiapin bukunya dulu hehehe.”
“Nggak kok. Bukan itu. Bisa ketemu di kampus adek nggak? Nanti sore abang tunggu di danau depan perpus ya?”
Reply
“Oke…jam berapa? Ba’da ashar ya?“
“Oke”

***
Sore itu…
Bang Noe sudah ada disana. Duduk memandangi danau kehijauan yang tenang sendirian.
Ketika Ranti datang dia hanya menoleh sebentar kemudian menggeser duduknya. Memberi tempat untuk Ranti duduk di hijaunya rumput tepi danau.
“Dek…, abang sudah kenal baik dengan keluarga dek Ranti, keluarga abang juga, bolehkah… abang melamar dek Ranti?”

Ranti sedang duduk, tapi serasa melayang. Apakah yang didengarnya benar? Perlahan namun pasti Ranti mulai merasakan panas di pipinya. Tapi kalaupun memang dilamar apakah harus di tempat itu? “Nggak romantis banget “ Pikirnya. Lagi pula Ranti belum siap buat menjawab pertanyaan penting seperti ini tiba-tiba.

“Abang sadar ini mendadak. Gak perlu buru-buru dijawab dek. Abang ngerti dek Ranti butuh waktu untuk berpikir. Kalau dek Ranti tanya mengapa abang ngajak disini, lebih karena abang sangat suka tempat ini sejak kuliah dulu.
“Sudah 4 tahun yang lalu dan banyak yang berubah memang. Tapi… keindahan itu kita sendiri kan yang membuatnya? Meskipun segalanya berbeda, masih ada kenangan indah yang pernah kita buat sendiri disini. Bagaimanapun dia akan tetap indah…. Apalagi kalau sore begini tambah indah kan?
“Abang juga tahu adek selama kuliah juga senang duduk disini kan?” Tiba-tiba mata teduh itu menatap Ranti. Ranti merasakan sesuatu berdesir di hatinya. Entah apa namanya…. Ranti hanya menyadarinya.
Seakan tak butuh jawaban, Bang Noe melanjutkan.
“Abang harus pergi ke Afrika satu tahun ke depan untuk jadi relawan kemanusiaan. Sebenarnya abang sudah apply sejak setahun lalu. Tapi baru diumumkan kemarin. Setelah abang yakin akan mengajukan pertanyaan itu kepadamu, abang merasa ini harus ditanyakan sekarang. Abang yakin, ini pertanyaan yang penting untuk hidup abang selanjutnya.”
Ranti masih merasa shock untuk kedua kalinya. Masih tak tahu harus berkata apa.
“Abang tak berharap banyak. Mungkin tak adil meminta padamu sekarang dan sekaligus meninggalkanmu namun abang hanya merasa ini tak bisa ditunda lagi.”
“Lalu…, apa yang jadi keinginan abang selanjutnya? “ Ranti akhirnya sanggup bertanya meskipun merasa suaranya bergetar dan tenggorokan tercekat.
“Tunggu abang kalau adek bersedia…. Setahun memang waktu yang lama, tapi abang merasa inilah hal yang bisa abang lakukan untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Sebagai dokter.”
Ranti tak sanggup berkata apa-apa lagi. Seakan mulutnya terkunci….
“Dek Ranti juga masih kuliah setahun lagi kan sebelum lulus? Jika dek Ranti bersedia, abang tak memaksa bila harapan abang tak jadi kenyataan….”
Ranti… tak pernah tahu apa artinya cinta. Bahkan Ranti tak pernah mengejanya selain untuk mama dan papa. Ranti juga tak tahu apa yang dirasakannya pada lelaki yang duduk disampingnya kini. Hanya saja Ranti tak punya kata tidak untuk menolaknya.

Suatu masa akan datang seseorang yang kau tak kuasa menolaknya memasuki hatimu. Dia datang bersama angin, dia datang bersama mimpi, dia datang bersama keresahan, dalam kecemasan, dalam teka-teki, dan dalam rindu yang tak tertahan.
Kau bahkan tak perlu mengeja kata cinta terlalu rumit, karena ia sangat sederhana.
Tak perlu ia dieja, karena ia memasuki tiap jengkal aliran darah kita, seketika terucap tanpa perlu daya upaya, dan ketika takdir cinta memilihmu, bahkan kau tak punya kosa kata “tidak” untuk menolaknya…..

Mereka masih duduk disana tanpa kata hingga adzan maghrib berkumandang. Dan senja itu entah mengapa seperti Surga di pelupuk mata Ranti yang berkaca-kaca sedari tadi…
***
Satu tahun Bang Noe di Afrika, hanya sebulan sekali mengirim kabar. Disana akses internet sangat sulit.
Masih hitungan bulan sebelum waktu Bang Noe pulang, tiba-tiba email yang Ranti terima siang itu membawa kabar buruk.
“Abang terpaksa pulang cepet dek. Ada kelainan di jantung abang dan sepertinya hanya bisa diatasi dengan operasi. Paling cepat dua minggu lagi abang tiba di Jakarta”
Dalam dua minggu Ranti gelisah hingga pesawat Bang Noe membawanya pulang tiba. Ranti tak percaya, Bang Noe sangat berubah, bertambah kurus, wajahnya makin tirus, tapi mata itu tidak berubah, Bang Noe tetap Bang Noe yang dulu. Yang selalu bisa membuat sudut hati Ranti bergetar …
Dokter di Jakarta mendiagnosa dua katup mitral jantung Bang Noe sudah tak tertolong. Ketika di Afrika masih terdeteksi hanya satu katup rusak dan operasi pergantian katup bisa bisa menolongnya. Bisa dengan katup mekanik atau katup alami dari babi. Tentu saja pilihan pertama yang dipilih Bang Noe. Ranti menunggu semua proses yang dijalani Bang Noe dengan selaksa doa yang melangit di sepanjang waktu. Yang ada hanya harapan agar semua baik-baik saja.
Operasi berhasil, keadaan Bang Noe lebih baik. Setelah beberapa bulan pemulihan dan nasehat dokter tentang apa yang do n don’t, Bang Noe hampir kembali pulih seperti dulu. Beberapa hal yang berubah adalah Bang Noe labih banyak termenung. Namun cahaya matanya masih seperti pertama kali Ranti melihat. Bang Noe masih semangat dan dia tak putus asa meskipun katup jantungnya tak lagi sekuat yang Allah berikan di waktu menciptakannya.
Mereka masih sering menghabiskan waktu sore di danau, melihat riak lembut air danau yang hijau dan sesekali menikmati gerimis dan hujan disana. Ranti sesekali membantu praktik pribadi Bang Noe di klinik. Memastikan Bang Noe tidak terlalu lelah dan berpikir keras yang akan membahayakan jantungnya.
Ini tahun kedua setelah Bang Noe melamarnya dulu dan entah mengapa kondisi Bang Noe semakin melemah. Sering kali Bang Noe jatuh pingsan atau tiba-tiba berhalusinasi melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Pernah suatu ketika Bang Noe datang dengan taksi dari sebuah seminar di hotel dalam keadaan pingsan. Ternyata kata sopir taksi Bang Noe tiba-tiba masuk dan mengangsurkan KTP-nya agar diantar ke alamat yang ada di KTP sementara mobilnya ia tinggal di hotel. Ketika sadar Bang Noe bahkan tak ingat apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Keluarga dan Ranti kini semakin ketat menjaga dan menemani kemanapun Bang Noe pergi. Dokter yang memeriksa memastikan bahwa Bang Noe tak boleh sekalipun dibebani dengan pekerjaan dan pikiran berat. Sesuatu yang semua tahu tak bisa dilakukan Bang Noe.
Hingga pada suatu hari…
“Dek, bisa tunggu abang di danau? Jam biasa ya?“ sms Bang Noe.
“Iya bang, Ranti tunggu abang disana” message sending.
Tak lama Ranti menunggu, Bang Noe datang dengan wajah tak seperti biasanya. Tubuh itu memang lebih kurus, tapi… biasanya wajah itu tetap tersenyum.
Pelan Bang Noe duduk disamping Ranti dan tak berkata apapun. Ranti menahan diri untuk tak bertanya. Ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan Bang Noe namun Ranti tak mau menebak tentang apa.
“Tik..tik…” suara degup jantung mekanik Bang Noe mengisi kesenyapan antara mereka berdua, ya….katup jantung itu menemani Bang Noe hampir setahun ini.
“Dek… Abang merasa… abang tak akan mampu bertahan lebih lama” suara Bang Noe memang pelan ketika mengucapkannya namun bagi Ranti lebih mengagetkan dari halilintar terkeras sekalipun.
“Abang jangan pernah berpikir seperti itu.”
“Abang juga dokter dek… abang tahu ini tak akan bertahan lama. Abang sering merasa dia tak mampu….”
“Abang memang dokter tapi bukan Tuhan” Kalimat Ranti mengeras.
“Memang bukan… tapi abang mengerti kondisi abang.”
“Itu bukan alasan untuk abang membuat Ranti menangis” kini Ranti tak bisa menahan diri. Ditatapnya Bang Noe namun lelaki itu tak bergeming. Masih lurus menatap permukaan danau yang tenang.
“Abang tau, banyak hal yang tersia-sia dan harusnya dek Ranti memperoleh yang lebih baik” kata-kata Bang Noe selanjtnya amat memukul Ranti.
“Bang… Ranti memang nggak akan pernah bisa mengukur cinta dan setia. Tapi Ranti rela duduk dan menemani abang sampai kapanpun. Ranti ingin mendampingi abang hingga akhir nanti. Kalaupun abang jadi pergi, setidaknya ada Ranti disana menemani” pelan kalimat itu terucap dari bibir Ranti.
“Abang tak bisa, lebih baik kita berhenti disini”
“Ranti menolak! Ranti ingin Bang Noe menikahi Ranti secepatnya “ entah mengapa Ranti punya keberanian membentak Bang Noe, dan sekali ini berhasil membuat Bang Noe tersentak dan memandangnya tajam.
“Jangan bodoh, aku tahu sifat wanita! Aku tak ingin membuatmu bersedih dan menderita.”
“Tau apa abang tentang menderita? Yang Ranti tahu, Ranti ingin selalu bersama abang, gak peduli apapun yang terjadi pada abang” Ranti mengucapkannya dengan tegas. Biar Bang Noe tahu, Ranti benar-benar mengucapkannya dengan kesungguhan.
Bang Noe hanya memandangnya kemudian bertanya “apakah Ranti siap menghadapi apapun?”
“Iya! Ranti siap! Dan Ranti tahu konsekuensinya. ”

Dan bahkan engkau tak perlu mengucapkan cinta dalam bahasa yang begitu rupa
Karena hati telah sama-sama mengerti…
Apa yang diinginkannya….

Satu bulan kemudian, pernikahan mereka berlangsung dengan mewah. Sebenarnya Ranti ingin ini sederhana namun kedua orang tua mereka punya banyak kolega. Ya… bagaimana lagi? Bukankah agar semua sama-sama bahagia?
Bulan pertama bagi Ranti adalah waktu yang sangat sempurna. Melayani Bang Noe sebagai istri, menyiapkan makan untuknya, menyediakan baju yang akan dipakainya…. Sungguh dia merasa ini kebahagiaan yang paling membahagiakan. Meskipun tinggal dengan orang tua Bang Noe Ranti tak ada masalah sedikitpun. Mereka tak ada bedanya dengan ayah dan bundanya. Toh bersama Bang Noe segala hal yang ada hanyalah keindahan.
Hingga di usia dua bulan pernikahan mereka Bang Noe tiba-tiba pingsan ketika mau berangkat ke klinik. Sejak saat itu Bang Noe tak sadarkan diri. Dokter menyatakan ada bakteri yang menyerang jantungnya dan jantung itu tak lagi sanggup membantu Bang Noe bertahan.
Sudah seminggu Bang Noe koma. Ranti dengan setia menunggui dan tak beranjak dari sisinya. Sering kali Ranti bicara dan mengajaknya bercanda meskipun tak ada respon. Ranti paham Bang Noe mengerti disana. Entah dimana…. Bang Noe pasti mendengarkan ceritanya seperti biasa.
Sampai suatu ketika Ranti tiba-tiba jatuh pingsan. Dokter yang memeriksanya kemudian memberikan kabar yang tak pernah disangka akan dia dengar. Di dalam rahimnya telah tumbuh janin berumur 6 minggu. Ranti tak tahu harus bagaimana. Dalam ingatannya tiba-tiba terlintas saat dimana Bang Noe memegang tangannya waktu itu. Di malam pertama mereka.
“Dek…terima kasih telah bersedia menjadi bidadari abang. Abang hanya ingin meminta satu hal kalau adek bersedia. Sampai kondisi abang siap, bisakah kita menunda dulu untuk punya momongan?”
“Ah… Bang Noe maafin Ranti ya? Tapi Ranti yakin Bang Noe juga senang. bukankah ini anugerah Allah buat kita?” pelan Ranti membisikkan kabar gembira itu di telinga Bang Noe. Berharap ada senyum dari bibirnya yang tertutup masker.

Begitulah pembicaraan mereka kini tak lagi berdua, namun bertiga. Melibatkan janin dalam rahim Ranti. Ranti ingin Bang Noe juga bahagia seperti Ranti dengan calon anak mereka.
Allah menulis garis takdir manusia dengan sangat adil
Tak ada yang cela
Sikap manusia ketika menerimanya yang membuat takdir itu menjadi tak lagi sempurna
Hingga ia kadang dinilai jelek dan hina
Namun… jika kau memahami, bahwa Allah tak pernah membiarkan setetespun air mata mengalir tanpa arti, maka Dia akan memberimu damai yang tak ada batasnya….
Seminggu setelah kabar itu, Bang Noe pulang….
Pulang menuju pelukanNya….
Calon bayi mereka pun akhirnya juga tak bisa dipertahankan. Ranti terlalu lemah dan payah hingga tak sanggup memilikinya hingga ia lahir ke dunia.
Ranti bahkan telah kehabisan air mata ketika mengiringi Bang Noe dengan lantunan doa. Justru sahabat, kerabat dan sanak saudara yang tak kuasa membendung air mata kesedihan mereka ketika melihat betapa tabahnya Ranti menghadapi itu semua. Mungkin Allah lebih sayang kepada Bang Noe dan anak mereka yang entah belum punya nama sehingga memanggil mereka lebih dulu untuk kemudian menunggu Ranti. Ya… menunggu Ranti di Surga ….
********
Ranti merasa tak ada yang mengurangi kebahagiaanya sedikitpun. Ia hanya ingin benar-benar memahami mengapa jalan ini memilihnya sebagai aktris utamanya. Ia bahagia telah mengenal Bang Noe, ia bahagia telah menemani Bang Noe dalam ikatan suci meski hanya tiga bulan dan bahkan ia tetap bahagia meskipun kini tak ada lagi Bang Noe disampingnya.

Hmmm… bahagia itu dekat dan ada dalam tiap hati yang bersyukur.

Ranti tersenyum penuh arti. Berada di danau itu, menyesapi tiap detiknya, Ranti tahu bahwa rasa bahagia itu tidak akan berubah meskipun apa yang ada disekitarnya berubah.

Itulah mengapa ketika mama menyuruhnya menikah lagi Ranti masih belum bisa. Tidak hanya karena belum bisa melupakan Bang Noe yang tak akan dilupakannya karena dengan sekarang ini pun Ranti sudah bahagia …
Bukankah bahagia tak hanya diukur dengan status pernikahan saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar